Setiap anak terbentuk dari faktor genetik (bawaan), internal dan dari proses pembelajaran yang diperolehnya melalui lingkungan, eksternal. Parenting atau pola asuh termasuk dari proses pembelajaran yang akan membentuk anak dari lingkungan.
Secara teori ada 4 macam pola asuh :
- OTORITER
Pola asuh ini menekankan pada otoritas/kekuasaan orang tua. Orang tua cenderung mengarahkan anak sesuai dengan kehendak orang tua. Bila tidak dituruti, biasanya anak akan dikenai sanksi atau hukuman.
- PERMISIF
Tipe ini, sebaliknya. Justru orang tua menekankan pada kehendak atau kemauan anak. Pertimbangannya, orang tua menginginkan anak nyaman, tidak stres dan senang berada di lingkungan rumah.
- DEMOKRATIS
Tipe ini, berusaha agar antara keinginan orang tua dan anak, ditemukan kesamaan pandangan dan pendapat. Pola pengasuhan tipe ini cenderung dianggap tipe penengah antara otoriter dan permisif.
- LALAI
Tipe pengasuhan orangtua yang sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan dan keinginan anak. Orangtua sibuk dengan pemenuhan kebutuhannya sendiri, hingga ada ditelantarkan.
Pandangan baru tentang pendidikan anak pun mengalami perkembangan. Orang mengenal istilah positif parenting, proaktif parenting yang mengacu pada pola pengasuhan anak berdasar pada potensi positif setiap anak yang istimewa. Dalam hal ini, orang tua proaktif untuk mengembangkan semua potensi anak bisa dengan metode otoriter, demokratis atau bahkan permisif. Penggunaan metode tersebut sangat bergantung dari karakter pribadi anak.
Setiap anak lahir dalam keadaan optimis dan antusias. Misalnya, tidak kita lihat ada bayi yang gagal berdiri kemudian merenung sedih. Bayi itu pasti akan segera mencoba-mencoba dan terus mencoba. Sayangnya, optimis dan antusiasme itu biasanya meredup setelah usia 2 tahun. Kenapa? Barangkali, hal tersebut ilmu kita sebagai orang tua. Bayangkan, saat kita menikah lalu, berapa banyak ilmu tentang ‘keorangtuaan’ yang kita pahami. Umumnya kita belajar tentang ilmu yang kita siapkan untuk mencari pekerjaan. Sementara sejak kita menikah, bahkan sebelum kita menikah, seharusnya kita sudah banyak belajar bagaimana kelak kita akan mempersiapkan anak kita untuk menjadi anak yang sholih, sholihah.
Ilmu tentang bagaimana mempersiapkan dan mendidik anak kita pun cenderung kurang kita lengkapi dengan ruhaniah kita yang mungkin kering, tidak sebanding dengan ilmu-ilmu duniawi kita.
Jika kita memandang anak kita adalah amanah istimewa yang kita miliki, maka kita pun akan dengan istimewa pula memperlakukannya, membimbingnya, membentuknya. Yang dapat kita lakukan antara lain:
1. Berilah anak dorongan, bukan ancaman
Seorang anak yang bersemangat untuk bisa membeli sepeda akan mengupayakan segala cara semisal tidak jajan, bekerja lebih giat dengan harapan mendapat insentif lebih, bahkan mungkin memunculkan ide baru agar ada uang tambahan yang diperolehnya. Tetapi jika kita, sebagai raong tua yang meminta agar anak menabung agar bisa membeli sepeda seperti temannya si A, misalnya. Anak akan merasa hal tersebut bukan tujuan utamanya. Bahkan jikapun orang tua akhirnya mengeluarkan ancaman, maka hasil yang capai tidak lebih hanya bentuk fisik, beli sepeda baru. Tetapi, esensi bahwa anak berjuang, bahkan mungkin memunculkan ide kreatif untuk menjual koran bekas, tidak sampai ke hati anak.
2. Jagalah anak dengan kepahamanan dan tindakan nyata
Seorang anak yang heran dengan perilaku 2 remaja yang saling berpegangan tangan, misalnya, tidak akan cukup diterangkan dengan ” Itu tidak boleh ya, Nak.” Tetapi, lebih dari itu, kita perlu menumbuhkan dalam dirinya amanah yang diberikan Allah padanya.
‘Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.’ QS Al Hijr: 92-93
3.Menumbuhkan kepercayaan diri anak
Setiap anak, jika ia lahir dalam keadaan normal, mereka adalah genius-genius besar yang dibekali Allah dengan semangat besar, amtusias dan kemauan belajar yang tinggi. Bahkan Glenn Doman, menyebutkan bahwa hinggga usia 6 tahun, anak belajar ‘tanpa usaha’. Rangsangan yang bervariasai, dan tepat di usia ini akan membuat potensi mereka berkembang optimal.
Sayangnya, kitalah yang seringkali memberi rangsangan yang kurang tepat untuk anak kita. Misalnya, kita meminta anak pergi ke masjid dengan pakaian yang terbaik. Semata–mata karena itu lebih pantas dilihat, tidak malu dengan teman lain. Alangkah lebih baiknya jika kita sertakan juga dalil kenapa harus perpakaian pantas ke masjid.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. QS Al A’raf (7) : 31
Akibatnya, jika anak kemudian merasa tidak sama dengan temannya, maka anak menjadi rendah diri. Bukankah Bapak kita semua sama, Nabi Adam, dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
4. Membangun karakter anak lewat penanaman nilai dan lewat modelling
Siapa diantara kita yang mengenal Rasulullah SAW? Niscaya dengan mengenal kita pasti jatuh cinta padanya. Siapa yang cinta padanya, niscaya akan berusaha untuk merebut juga cintanya. Subhanallah. Istilah tak kenal maka tak sayang berlaku juga di sini. Anak-anak kita mungkin lebih mengenal karakter batman, superman daripada karakter pahlawan-pahlawan islam. Padahal, dengan mengenal mereka, niscaya ada spirit mereka yang dapat menjadi tuntunan bagi anak. Dengan begitu ada model atau contoh langsung dapat diikuti anak. Tentunya, kita harus lebih dahulu mengenal mereka dan memberi contoh pada anak.
5. Mencerdaskan anak
Anak dikarunia kemampuan yang luar biasa untuk belajar. Masalahnya adalah sudahkah kita memberi bahan-bahan ajar yang baik. Termasuk bahan ajar dari berbagai media yang mungkin perlu kita netralisir. Mencerdaskan anak juga tidak melulu dengan aktivitas mental. Dengan banyak melakukan kegiatan motorik, sesungguhnya anak dirangsang juga kecerdasannya. Sebagaimana nasehat Al Ghazali, ” Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia kan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari kedaan sumpek ini.
6. Yang utama adalah komunikasi
Segala metode di atas bermula dari komunikasi. Tidak hanya komunikasi verbal, melainkan juga non verbal, gerak isyarat, bahasa tubuh. Kedua komunikasi itu seyogyanya dilakukan sesuai dengan kondisi anak, dengan bahasa anak, dan konsisten.